MATERI CERPEN

 


 

Cerpen merupakan singkatan dari cerita pendek yang memiliki arti sebuah cerita pendek yang dapat diselesaikan dengan waktu singkat atau tidak memerlukan jangka lama. Cerpen juga memiliki arti lain yaitu sebuah cerita yang dibuat bukan dari kisah nyata melainkan hanya sebuah fiksi. Dalam sebuah naskah cerpen, kata yang digunakan tidak lebih dari sepuluh ribu sehingga tidak butuh waktu lama untuk membacanya.

Cerepn memiliki ciri-ciri sebabagi berikut:

  1.  Bersifat fiktif, Bersifat fiktif maksudnya adalah bahwa cerita yang ditampilkan tidak bersifat nyata atau hasil dari imajinasi penulis yang dituangkan dalam bentuk cerita.
  2. Jumlah kata pendek, Jumlah kata yang ada pada cerpen juga tidak sebanyak di novel, cerpen hanya memiliki jumlah kata tidak lebih dari sepuluh ribu kata, sedangkan novel memiliki lebih dari sepuluh ribu kata dan untuk membacanya membutuhkan waktu lebih lama.
  3. Jumlah tokoh terbatas, Karena panjangnya yang terbatas, sehingga pada tokoh cerpen hanya sedikit yang dimunculkan sekitar dua karakter dan beberapa tokoh pendukung saja.
  4. Plot singkat, Cerpen memiliki plot yang singkat dan hanya fokus pada satu aspek cerita saja. Hal inilah yang membuat cerpen begitu disukai, karena alur ceritanya yang ringkas, jelas, dan tidak berbelit-belit.
  5.  Gaya bahasa pada Cerpen memilih bahasa yang padat agar penyampaian cerita lebih efektif dan tidak bertele-tele.
  6. Memiliki kesan yang mendalam, kesan yang mendalam pada cerpen ada karena cerita yang disuguhkan tidak bertele-tele, tidak terlalu banyak konflik, dan memiliki kesan khusus bagi pembaca.

Unsur -unsur pembangun dalam naskah cerpen:

        1. Unsur intrinsik: Unsur intrinsik yaitu komponen yang membangun dari dalam cerita atau hasil                karya sastra. Tedapat  7 unsur intrinsik pada cerpen diantaranya:

a.     Tema , yaitu gagasan utama yang mendasari sebuah cerita.

b.  Tokoh dana penokohan, yaitu peran yang dimunculkan dari sebuah cerita ditandai dengan nama orang, hewan, ataupun yang lainnya. Penokohan yaitu karakter atau sifat yang muncul pada setiap tokohnya. Misalnya baik, jahat, pemalas, sombong, dan lain sebagainya.

c.  Latar, yaitu tempat yang digunakan dalam cerita. Contoh hutan, rumah, jalan, pasar. Latar juga dapat terbagi menjadi beberapa seperti latar waktu, suasana, dan tempat.

d.     Alur, yaitu sebuah kronologi yang diceritakan baik alur maju atau mundur.

e.     Sudut pandang, yaitu cara penyampaian penulis terhadap tokoh dalam cerita pendek.

f.      Amanat, yaitu pesan yang ingin disampaikan oleh penulis atau yang terkandung dalam cerita.

g.     Gaya bahasa, yaitu cara penulis dalam menggunakan kata-kata dalam cerpen, misalnya majas

2. Unsur ekstrinsik: Unsur ekstrinsik yaitu unsur yang membangun cerita dari luar. Ada beberapa unsur yang membangun dari luar diantaranya:

a.     Latar belakang masyarakat

Latar belakang masyarat yang di maksud yaitu mengacu pada lingkungan sosial, budaya, ekonomi, politik, hingga ideologi suatu negara. Unsur ini sangat penting karena dapat mempengaruhi tema cerita, karakter tokoh, dan plot

b.     Latar belakang pengarang

Latar belakang pengarang yaitu mengacu pada latar belakang penulisnya yang meliputi aspek-aspek kehidupan dan pengalaman pribadi dari penulis.

c.     Dan nilai-nilai yang terkandung dalam cerpen

Yaitu nilai yang terkandung dalam cerpen seperti nilai sosial, agama, budaya, dan nilai moral.

Struktur Cerpen:

  1. Abstrak, Abstrak merupakan bagian cerpen yang menggambarkan keseluruhan isi cerita dari awal hingga akhir.
  2.  Orientasi, Orientasi cerpen berisi penentuan peristiwa yang menciptakan gambaran visual dari latar dan waktu dari cerita. 
  3. Rangkaian peristiwa, Rangkaian peristiwa yang dimaksud adalah sebuah peristiwa yang tidak diduga.
  4. Kompliksi, Yaitu rangkaian cerita yang sudah sampai ke puncak cerita, ditandai dengan banyaknya konflik yang dialami oleh tokoh.
  5. Resolusi, Yaitu suatu cara dari penulis untuk menemukan solusi dari konflik yang sedang dihadapi oleh tokoh.
  6. Koda, Koda merupakan komentar akhir terhadap keseluruhan isi cerita. Bagian ini juga bisa disebut simpulan cerpen

Kriteria Penialian Menulis Cerpen:

Aspek

Kriteria dan skor

5

4

3

2

Kelengkapan aspek formal cerpen

Memuat

a.     Judul

b.     Nama pengarang

c.     Dialog

d.     narasi

Memuat tiga subaspek

Memuat dua subaspek

Memuat satu subaspek

Kelengkapan unsur intrinsik cerpen

Memuat

a.     fakta cerita (plot, tokoh, latar)

b.     sarana cerita (sudut pandang, pencitraan, gaya bahasa, simbolisme, dan ironi)

c.     pengembangan tema yang rekevan dengan judul.

Memuat kegiata subaspek namun tidaka lengkap (misalnya fakta cerita hanya memuat plot dan tokoh, tanpa disertai latar yang jelas)

Memuat dua aspek

Memuat satu subsaspek

Keterpaduan unsur/struktur cerpen

Struktur disusun dengan memperhatikan

a.     kaidah plot (awal, tengah, akhir)

b.     tokoh (fisiologis, psikologis, dan sosiologis)

c.     latar (tempat, waktu, dan sosial)

Memuat ketiga suaspek namun tidak lengkap

Memuat dua aspek

Memuat satu subaspek

Kesesuaian penggunaan bahan cerpen

Menggunakan:

ragam bahasa yang disesuaikan dengan tokoh dan latar

Memuat aspek namun tidak lengkap

Memuat aspek namun hanya satu

Tidak memuat subaspek sama sekali

 

SUMBER

https://www.ruangguru.com/blog/apa-itu-cerpen


Contoh Cerpen:

_Merpati Tak Pernah Ingkar Janji_

 

 

Langit senja Surabaya tak pernah seindah senja di Semarang. Tanah kelahiranku yang selalu terkenang. Sejauh kakiku melangkah, selama aku berjalan rasa itu tak kan pernah sirna. Sore, waktunya untuk menyaksikan langit senja juga burung-burung kembali ke sarang.

Semangkuk bubur yang terletak di atas meja menunggu datangnya seruan untuk Zahra makan. Suara adzan sudan berkumandang tibalah untuk Zahra membatalkan kewajiban. Baru satu sendok bubur yang dia makan, tiba-tiba wajah Ibu dan Ayahnya melintas dalam pikiran. Tanpa disadari air mata tumpah dengan sendirinya. Bubur yang tadi terlihat lezat dan manis seolah berubah rasa dengan sendirinya. Entah apa yang ada dalam pikiran Zahra pada waktu itu.

Teringat ketika Zahra makan bersama keluarga di kampung halaman. Meskipun hanya nasi putih, ikan asin, dan tempe goreng yang selalu setia menemani setiap pagi.

“Zahra, sudah bangun, kau ingin berangkat sekolah atau tidak!”

Clotehan Ibu yang setiap pagi untuk membangunkan ku. Ayah yang rutinitasnya setiap selesai sarapan pagi langsung mengambil cangkul dan pergi ke sawah sedangkan aku dan adik perempuanku pergi ke sekolah.

Ya, itulah kegiatan yang terjadi pada keluarga Zahra. Zahra memiliki cita-cita untuk melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Banyak teman-teman Zahra yang sudah mendaftarkan diri mereka untuk masuk ke perguruan tinggi negeri. Tetapi Zahra bimbang bagaimana cara meminta izin kepada ayah dan ibu. Zahra menyadari bahwa orangtuanya adalah seorang petani yang penghasilannya pas-pasan.

“Untuk makan saja susah, apalagi untuk biaya kuliah.”

 Zahra sangat sedih ketika mengingat hal itu. Tetapi sebenarnya dalam hati kecilnya mengatakan bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.

Suara ketukkan pintu tiba-tiba membuyarkan lamunan Zahra. “Ra, Zahra. Sudah berangkat kerja atau belum?”

Suara Ibu Aminah pemilik kontrakkan yang siap menagih uang bulanan. Kebetulan waktu itu Zahra mendapat shift malam di tempat dia bekerja. Zahra sangat bingung apa yang harus dia katakan kepada Ibu kontrakkan karena dia sudah nunggak uang bulanan. Zahra hanya memiliki uang sisa yang cukup untuk makan tiga hari kedepan. Sebenarnya, Zahra tidak lupa untuk membayar uang kontrakkan tetapi gaji yang dia dapat sudah dikirim ke kampung halaman untuk biaya kuliah adiknya.

Setelah sekian lama Ibu Aminah berdiri di depan karena Zahra tidak membukakan pintu untuknya. Pada akhirnya Ibu Aminah pergi sambil meninggalkan surat. Surat itu tergeletak lesu di atas meja depan teras. Ya, itu bukan surat pertama yang diberikan untukku tapi sudah surat yang kesekian kalinya dari Bu Aminah. Aku masih malas untuk membukanya. Hari semakin larut malam, sepulang dari bekerja Zahra masih melihat surat itu tergeletak di atas meja luar, Zahra masih takut untuk membukanya.

“Bukan lagi keterlambatanku untuk membayar uang kontrakkan yang ku takutkan. Sesungguhnya adalah rasa rindu yang datang memintaku untuk pulang. Aku rindu wajah Ayah, adik perempuanku, terlebih pada kebeningan wajah Ibu. Setiap kali aku memanggil, rindu pulang kian mengental”.

Zahra terus memandangi surat itu, hatinya bergejolak antara harus membaca atau tidak. Dipikiran Zahra hanya ada kata baca, baca, dan baca. Akhirnya dia memutuskan untuk membuka dan membaca surat itu. Zahra sudah siap dengan omelan dari Ibu kontrakkan karena dia terlambat membayar. Tiba-tiba mata Zahra terbelalak melihat isi dari surat itu.

“Haa, surat dari kampung halaman.”

 Rasanya Zahra sudah tak sanggup lagi untuk membaca. Sekedar membaca, tangannya seperti mati rasa untuk memegang surat itu. Ya, enam tahun lamanya Zahra tak pernah pulang dari rantauan.

Zahra terus memandang tulisan pada surat itu. Darahnya berdesir, dia tidak akan pernah bisa mengingkari tanah kelahirannya. Karena di sana lah tangis pertama Zahra terdengar, tanah, air, udara, angin, langit desa yang menjadi saksi kelahiran Zahra. Zahra tak kan pernah bisa mengingkarinya, tak akan pernah bisa. Perasaan rindu dan kecintaan tumbuh merayap dalam benak. Tanah kelahiran yang terletak di ribuan mil dari Surabaya seperti terang benderang dalam pandang.

“Aku akan pulang.”

 Zahra berjanji pada dirinya setelah membaca surat itu. Lagi-lagi hati Zahra berkecamuk ketika dia mengingat bahwa keluarganya hanya mengandalkan kerja keras dari Zahra. Ayah Zahra terkena stroke ketika Zahra lulus dari sekolah. Itulah yang menjadi alasan Zahra mengapa dia tidak memilih untuk melanjutkan pendidikannya dan lebih memilih untuk bekerja di kota asing.

Pikirannya untuk pulang selalu terhambat oleh kebutuhan yang dibebankan olehnya. Dia rela bekerja keras untuk keluarganya siang dan malam hanya untuk orang tersayang di kampung halaman. Setiap kali dia memiliki tabungan lebih untuk pulang justru dia harus berhadapan dengan angka-angka yang harus dia bayar untuk biaya adiknya kuliah. Zahra tidak sanggup melihat ibunya bekerja keras sendirian yang hanya menjadi buruh.

Tiba-tiba tubuh Zahra terasa nyeri. Matanya berkunang-kunang ketika membaca surat itu. Surat itu memang begitu pendek tetapi isinya sangat menyayat hati. Sebuah rindu yang tak pernah sampai. Sebenarnya dalam benaknya pula ia merindukan seseorang di kampung halamannya. Seseorang yang selalu membuatnya tersenyum di kala hatinya sedang risau. Seorang teman laki-laki yang sudah ia anggap seperti sahabatnya sendiri. Zahra mengenalnya sejak duduk di bangku SMA laki-laki tersebut bernama Rian biasa dipanggil Ian.

Suatu ketika ia teringat ketika harus pergi meninggalkan orang-orang tersayang demi mendapatkan kehidupan yang layak. Rian tidak mengizinkan Zahra pergi karena masih terlalu kecil waktu itu. Meninggalkan kota kelahiran dan berjuang di kota yang terkenal akan kerasnya kehidupan di sana tak akan pernah mampu Zahra seorang diri hidup di sana. Tetapi dengan penuh keyakinan Zahra harus memilih pergi meskipun ia harus merelakan orang-orang yang dia sayangi.

Sebelum kepergiannya Zahra ia sempat mengatakan bahwa,

“Aku akan pulang, bersama dengan semua kerinduan yang aku bawa. Asal kau tahu, bahwa merpati tak pernah ingkar janji. Aku mencintaimu lebih dari kau mencintaiku”.

Semua itu terasa sangat perih di hatinya, tetapi harus bagaimana lagi. Takdir tak pernah berpihak kepadanya. Zahra percaya jika memang dia mencintainya dia pasti akan menunggu. Karena sebuah kepercayaan itu tak akan pernah ternilai dengan apapun. Zahra sangat mencintai keluarganya melebihi apapun di dunia ini. Rian pun mengetahui hal itu dan selama ini komunikasi mereka terbilang baik.

Suatu ketika, Zahra berjalan di persimpangan jalan. Tanpa sengaja ia bertabrakan dengan seseorang.

“Maaf aku tidak sengaja”, kata laki-laki tersebut.

Dan ketika ia menengok kebelakang ternyata laki-laki tersebut adalah Rian. Laki-laki yang juga sahabatnya sendiri sekaligus laki-laki yang ia cintai. Seketika itu Zahra memeluknya dan mengatakan,

“Ian aku merindukan mu, sangat merindukanmu”.

Pertemuan tanpa sengaja tersebut membuat Zahra tak mampu bicara sama sekali. Bagaimana mungkin dia akan bertemu dengan Ian di tempat yang tak terduga. Seolah takdir mempertemukan mereka kembali untuk bersama dan melanjutkan kisah mereka. Hari demi hari telah terlewati, Rian menceritakan semua keadaan keluarga Zahra di Surabanya. Ia menceritakan bahwa Adik perempuannya yang dia biayai dengan kerja kerasnya sudah hampir lulus dari kuliahnya. Kondisi ayahnya yang memiliki sakit stroke semakin membaik.

Zahra sangat tidak sabar untuk segera pulang dan bertemu dengan keluarganya. Bertahun-tahun dia memendam rasa rindu, bertahun-tahun pula dia tidak memiliki tempat untuk berbagi perasaan yang ia rasakan. Tetapi seolah Tuhan menjwab doa-doa yang ia panjatkan setiap malam dalam sujud terakhirnya. Tak ada sepatah kata pun yang mampu menggambarkan kebahagiannya saat itu.

Di lain kesempatan Rian mengajaknya untuk pulang ke tanah Surabaya. Tempat di mana Zahra dilahirkan. Tetapi, tanpa disadari bahwa Zahra harus menolak kembali ajakan Ian untuk pulang karena suatu hal yang tidak dapat ia ceritakan dengan siapapun.

“Maaf Ian, aku belum bisa pulang. Meskipun dalam benak ini sudah tak mampu lagi untuk memendam kerinduan ku terhadap Ayah, Ibu, dan Adikku. Tapi demi Tuhan, aku tidak dapat pulang.”

Mendengar jawaban itu Rian seperti tak percaya, hatinya begitu sakit. Bagaimana mungkin dia menolak ajakannya untuk pulang bahkan janjinya untuk bertemu dengan keluarganya di Suraaya. Dalam perasaan Ian timbul banyak pertanyaan.

“Apakah dia sudah tak mencintai kelurganya sampai dia tidak mau aku ajak pulang. Atau kah mungkiiin....., tidak itu tidak mungkin terjadi. Aku tak ingin mengotori kepercayaan yang telah dia berikan kepadaku”

Setelah terdiam beberapa saat, Zahra mengatakan,

“Aku hanya bercanda, kau percaya jika aku tak mau pulang denganmu. Tentu aku mau, tanpa aku harus berpikir panjang tentu saja aku pasti mau. Aku sangat merindukan keluargaku di Surabaya. Ian, bawa aku pulang”.

Kemudian mereka berdua tersenyum sambil memandang satu sama lain. Sebuah kerinduan dan janji untuk pulang dan kembali untuk orang tersayang.

 

Oleh: Fidhotur Rofiah

Semarang, 11 Februari 2016 pukul 23:03 WIB.

 

Komentar

Postingan Populer