MATERI CERPEN
Cerpen merupakan singkatan
dari cerita pendek yang memiliki arti sebuah cerita pendek
yang dapat diselesaikan dengan waktu singkat atau tidak memerlukan jangka lama.
Cerpen juga memiliki arti lain yaitu sebuah cerita yang dibuat bukan dari kisah
nyata melainkan hanya sebuah fiksi. Dalam sebuah naskah cerpen, kata yang
digunakan tidak lebih dari sepuluh ribu sehingga tidak butuh waktu lama untuk
membacanya.
Cerepn
memiliki ciri-ciri sebabagi berikut:
- Bersifat fiktif, Bersifat fiktif maksudnya adalah bahwa cerita yang ditampilkan tidak bersifat nyata atau hasil dari imajinasi penulis yang dituangkan dalam bentuk cerita.
- Jumlah kata pendek, Jumlah kata yang ada pada cerpen juga tidak sebanyak di novel, cerpen hanya memiliki jumlah kata tidak lebih dari sepuluh ribu kata, sedangkan novel memiliki lebih dari sepuluh ribu kata dan untuk membacanya membutuhkan waktu lebih lama.
- Jumlah tokoh terbatas, Karena panjangnya yang terbatas, sehingga pada tokoh cerpen hanya sedikit yang dimunculkan sekitar dua karakter dan beberapa tokoh pendukung saja.
- Plot singkat, Cerpen memiliki plot yang singkat dan hanya fokus pada satu aspek cerita saja. Hal inilah yang membuat cerpen begitu disukai, karena alur ceritanya yang ringkas, jelas, dan tidak berbelit-belit.
- Gaya bahasa pada Cerpen memilih bahasa yang padat agar penyampaian cerita lebih efektif dan tidak bertele-tele.
- Memiliki kesan yang mendalam, kesan yang mendalam pada cerpen ada karena cerita yang disuguhkan tidak bertele-tele, tidak terlalu banyak konflik, dan memiliki kesan khusus bagi pembaca.
Unsur -unsur pembangun dalam naskah cerpen:
1. Unsur intrinsik: Unsur intrinsik yaitu komponen yang membangun dari dalam cerita atau hasil karya sastra. Tedapat 7 unsur intrinsik pada cerpen diantaranya:
a.
Tema , yaitu gagasan
utama yang mendasari sebuah cerita.
b. Tokoh dana penokohan,
yaitu peran yang dimunculkan dari sebuah cerita ditandai dengan nama orang,
hewan, ataupun yang lainnya. Penokohan yaitu karakter atau sifat yang muncul
pada setiap tokohnya. Misalnya baik, jahat, pemalas, sombong, dan lain
sebagainya.
c. Latar, yaitu tempat
yang digunakan dalam cerita. Contoh hutan, rumah, jalan, pasar. Latar juga
dapat terbagi menjadi beberapa seperti latar waktu, suasana, dan tempat.
d.
Alur, yaitu sebuah
kronologi yang diceritakan baik alur maju atau mundur.
e.
Sudut pandang, yaitu
cara penyampaian penulis terhadap tokoh dalam cerita pendek.
f.
Amanat, yaitu pesan
yang ingin disampaikan oleh penulis atau yang terkandung dalam cerita.
g. Gaya bahasa, yaitu cara penulis dalam menggunakan kata-kata dalam cerpen, misalnya majas
2. Unsur ekstrinsik: Unsur ekstrinsik yaitu unsur yang membangun cerita dari luar. Ada beberapa unsur yang membangun dari luar diantaranya:
a.
Latar belakang
masyarakat
Latar
belakang masyarat yang di maksud yaitu mengacu pada lingkungan sosial, budaya, ekonomi, politik,
hingga ideologi suatu negara. Unsur ini sangat penting karena
dapat mempengaruhi tema cerita, karakter tokoh, dan plot
b.
Latar belakang
pengarang
Latar
belakang pengarang yaitu mengacu pada latar belakang penulisnya yang meliputi
aspek-aspek kehidupan dan pengalaman pribadi dari penulis.
c.
Dan nilai-nilai yang
terkandung dalam cerpen
Yaitu nilai yang
terkandung dalam cerpen seperti nilai sosial, agama, budaya, dan nilai moral.
Struktur Cerpen:
- Abstrak, Abstrak merupakan bagian cerpen yang menggambarkan keseluruhan isi cerita dari awal hingga akhir.
- Orientasi, Orientasi cerpen berisi penentuan peristiwa yang menciptakan gambaran visual dari latar dan waktu dari cerita.
- Rangkaian peristiwa, Rangkaian peristiwa yang dimaksud adalah sebuah peristiwa yang tidak diduga.
- Kompliksi, Yaitu rangkaian cerita yang sudah sampai ke puncak cerita, ditandai dengan banyaknya konflik yang dialami oleh tokoh.
- Resolusi, Yaitu suatu cara dari penulis untuk menemukan solusi dari konflik yang sedang dihadapi oleh tokoh.
- Koda, Koda merupakan komentar akhir terhadap keseluruhan isi cerita. Bagian ini juga bisa disebut simpulan cerpen
Kriteria Penialian Menulis Cerpen:
Aspek |
Kriteria dan skor |
|||
5 |
4 |
3 |
2 |
|
Kelengkapan
aspek formal cerpen |
Memuat a.
Judul b.
Nama pengarang c.
Dialog d.
narasi |
Memuat
tiga subaspek |
Memuat dua subaspek |
Memuat satu subaspek |
Kelengkapan
unsur intrinsik cerpen |
Memuat
a.
fakta cerita (plot, tokoh, latar) b.
sarana cerita (sudut pandang, pencitraan, gaya bahasa, simbolisme, dan
ironi) c.
pengembangan tema yang rekevan dengan judul. |
Memuat
kegiata subaspek namun tidaka lengkap (misalnya fakta cerita hanya memuat
plot dan tokoh, tanpa disertai latar yang jelas) |
Memuat dua aspek |
Memuat satu subsaspek |
Keterpaduan
unsur/struktur cerpen |
Struktur
disusun dengan memperhatikan a.
kaidah plot (awal, tengah, akhir) b.
tokoh (fisiologis, psikologis, dan sosiologis) c.
latar (tempat, waktu, dan sosial) |
Memuat
ketiga suaspek namun tidak lengkap |
Memuat dua aspek |
Memuat satu subaspek |
Kesesuaian
penggunaan bahan cerpen |
Menggunakan: ragam bahasa yang
disesuaikan dengan tokoh dan latar |
Memuat
aspek namun tidak lengkap |
Memuat aspek namun hanya satu |
Tidak memuat subaspek sama sekali |
SUMBER
https://www.ruangguru.com/blog/apa-itu-cerpen
Contoh Cerpen:
_Merpati
Tak Pernah Ingkar Janji_
Langit senja Surabaya tak pernah seindah senja di Semarang. Tanah
kelahiranku yang selalu terkenang. Sejauh kakiku melangkah, selama aku berjalan
rasa itu tak kan pernah sirna. Sore, waktunya untuk menyaksikan langit senja
juga burung-burung kembali ke sarang.
Semangkuk bubur yang terletak di atas meja menunggu datangnya seruan untuk
Zahra makan. Suara adzan sudan berkumandang tibalah untuk Zahra membatalkan
kewajiban. Baru satu sendok bubur yang dia makan, tiba-tiba wajah Ibu dan
Ayahnya melintas dalam pikiran. Tanpa disadari air mata tumpah dengan
sendirinya. Bubur yang tadi terlihat lezat dan manis seolah berubah rasa dengan
sendirinya. Entah apa yang ada dalam pikiran Zahra pada waktu itu.
Teringat ketika Zahra makan bersama keluarga di kampung halaman. Meskipun
hanya nasi putih, ikan asin, dan tempe goreng yang selalu setia menemani setiap
pagi.
“Zahra, sudah bangun, kau ingin berangkat sekolah atau tidak!”
Clotehan Ibu yang setiap pagi untuk membangunkan ku. Ayah yang rutinitasnya
setiap selesai sarapan pagi langsung mengambil cangkul dan pergi ke sawah
sedangkan aku dan adik perempuanku pergi ke sekolah.
Ya, itulah kegiatan yang terjadi pada keluarga Zahra. Zahra memiliki
cita-cita untuk melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi lagi.
Banyak teman-teman Zahra yang sudah mendaftarkan diri mereka untuk masuk ke
perguruan tinggi negeri. Tetapi Zahra bimbang bagaimana cara meminta izin
kepada ayah dan ibu. Zahra menyadari bahwa orangtuanya adalah seorang petani
yang penghasilannya pas-pasan.
“Untuk makan saja susah, apalagi untuk biaya kuliah.”
Zahra sangat sedih ketika mengingat hal itu. Tetapi sebenarnya dalam
hati kecilnya mengatakan bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.
Suara ketukkan pintu tiba-tiba membuyarkan lamunan Zahra. “Ra, Zahra. Sudah
berangkat kerja atau belum?”
Suara Ibu Aminah pemilik kontrakkan yang siap menagih uang bulanan.
Kebetulan waktu itu Zahra mendapat shift malam di tempat dia
bekerja. Zahra sangat bingung apa yang harus dia katakan kepada Ibu kontrakkan
karena dia sudah nunggak uang bulanan. Zahra hanya memiliki uang sisa yang
cukup untuk makan tiga hari kedepan. Sebenarnya, Zahra tidak lupa untuk membayar
uang kontrakkan tetapi gaji yang dia dapat sudah dikirim ke kampung halaman
untuk biaya kuliah adiknya.
Setelah sekian lama Ibu Aminah berdiri di depan karena Zahra tidak
membukakan pintu untuknya. Pada akhirnya Ibu Aminah pergi sambil meninggalkan
surat. Surat itu tergeletak lesu di atas meja depan teras. Ya, itu bukan surat
pertama yang diberikan untukku tapi sudah surat yang kesekian kalinya dari Bu
Aminah. Aku masih malas untuk membukanya. Hari semakin larut malam, sepulang
dari bekerja Zahra masih melihat surat itu tergeletak di atas meja luar, Zahra
masih takut untuk membukanya.
“Bukan lagi keterlambatanku untuk membayar uang kontrakkan yang ku
takutkan. Sesungguhnya adalah rasa rindu yang datang memintaku untuk pulang.
Aku rindu wajah Ayah, adik perempuanku, terlebih pada kebeningan wajah Ibu.
Setiap kali aku memanggil, rindu pulang kian mengental”.
Zahra terus memandangi surat itu, hatinya bergejolak antara harus membaca
atau tidak. Dipikiran Zahra hanya ada kata baca, baca, dan baca. Akhirnya dia
memutuskan untuk membuka dan membaca surat itu. Zahra sudah siap dengan omelan
dari Ibu kontrakkan karena dia terlambat membayar. Tiba-tiba mata Zahra
terbelalak melihat isi dari surat itu.
“Haa, surat dari kampung halaman.”
Rasanya Zahra sudah tak sanggup lagi untuk membaca. Sekedar membaca,
tangannya seperti mati rasa untuk memegang surat itu. Ya, enam tahun lamanya
Zahra tak pernah pulang dari rantauan.
Zahra terus memandang tulisan pada surat itu. Darahnya berdesir, dia tidak
akan pernah bisa mengingkari tanah kelahirannya. Karena di sana lah tangis
pertama Zahra terdengar, tanah, air, udara, angin, langit desa yang menjadi
saksi kelahiran Zahra. Zahra tak kan pernah bisa mengingkarinya, tak akan
pernah bisa. Perasaan rindu dan kecintaan tumbuh merayap dalam benak. Tanah
kelahiran yang terletak di ribuan mil dari Surabaya seperti terang benderang
dalam pandang.
“Aku akan pulang.”
Zahra berjanji pada dirinya setelah membaca surat itu. Lagi-lagi hati
Zahra berkecamuk ketika dia mengingat bahwa keluarganya hanya mengandalkan
kerja keras dari Zahra. Ayah Zahra terkena stroke ketika Zahra
lulus dari sekolah. Itulah yang menjadi alasan Zahra mengapa dia tidak memilih
untuk melanjutkan pendidikannya dan lebih memilih untuk bekerja di kota asing.
Pikirannya untuk pulang selalu terhambat oleh kebutuhan yang dibebankan
olehnya. Dia rela bekerja keras untuk keluarganya siang dan malam hanya untuk
orang tersayang di kampung halaman. Setiap kali dia memiliki tabungan lebih
untuk pulang justru dia harus berhadapan dengan angka-angka yang harus dia
bayar untuk biaya adiknya kuliah. Zahra tidak sanggup melihat ibunya bekerja
keras sendirian yang hanya menjadi buruh.
Tiba-tiba tubuh Zahra terasa nyeri. Matanya berkunang-kunang ketika membaca
surat itu. Surat itu memang begitu pendek tetapi isinya sangat menyayat hati.
Sebuah rindu yang tak pernah sampai. Sebenarnya dalam benaknya pula ia
merindukan seseorang di kampung halamannya. Seseorang yang selalu membuatnya
tersenyum di kala hatinya sedang risau. Seorang teman laki-laki yang sudah ia
anggap seperti sahabatnya sendiri. Zahra mengenalnya sejak duduk di bangku SMA
laki-laki tersebut bernama Rian biasa dipanggil Ian.
Suatu ketika ia teringat ketika harus pergi meninggalkan orang-orang
tersayang demi mendapatkan kehidupan yang layak. Rian tidak mengizinkan Zahra
pergi karena masih terlalu kecil waktu itu. Meninggalkan kota kelahiran dan
berjuang di kota yang terkenal akan kerasnya kehidupan di sana tak akan pernah
mampu Zahra seorang diri hidup di sana. Tetapi dengan penuh keyakinan Zahra
harus memilih pergi meskipun ia harus merelakan orang-orang yang dia sayangi.
Sebelum kepergiannya Zahra ia sempat mengatakan bahwa,
“Aku akan pulang, bersama dengan semua kerinduan yang aku bawa. Asal kau
tahu, bahwa merpati tak pernah ingkar janji. Aku mencintaimu lebih dari kau
mencintaiku”.
Semua itu terasa sangat perih di hatinya, tetapi harus bagaimana lagi.
Takdir tak pernah berpihak kepadanya. Zahra percaya jika memang dia
mencintainya dia pasti akan menunggu. Karena sebuah kepercayaan itu tak akan
pernah ternilai dengan apapun. Zahra sangat mencintai keluarganya melebihi
apapun di dunia ini. Rian pun mengetahui hal itu dan selama ini komunikasi
mereka terbilang baik.
Suatu ketika, Zahra berjalan di persimpangan jalan. Tanpa sengaja ia
bertabrakan dengan seseorang.
“Maaf aku tidak sengaja”, kata laki-laki tersebut.
Dan ketika ia menengok kebelakang ternyata laki-laki tersebut adalah Rian.
Laki-laki yang juga sahabatnya sendiri sekaligus laki-laki yang ia cintai.
Seketika itu Zahra memeluknya dan mengatakan,
“Ian aku merindukan mu, sangat merindukanmu”.
Pertemuan tanpa sengaja tersebut membuat Zahra tak mampu bicara sama
sekali. Bagaimana mungkin dia akan bertemu dengan Ian di tempat yang tak
terduga. Seolah takdir mempertemukan mereka kembali untuk bersama dan
melanjutkan kisah mereka. Hari demi hari telah terlewati, Rian menceritakan
semua keadaan keluarga Zahra di Surabanya. Ia menceritakan bahwa Adik
perempuannya yang dia biayai dengan kerja kerasnya sudah hampir lulus dari
kuliahnya. Kondisi ayahnya yang memiliki sakit stroke semakin
membaik.
Zahra sangat tidak sabar untuk segera pulang dan bertemu dengan
keluarganya. Bertahun-tahun dia memendam rasa rindu, bertahun-tahun pula dia
tidak memiliki tempat untuk berbagi perasaan yang ia rasakan. Tetapi seolah
Tuhan menjwab doa-doa yang ia panjatkan setiap malam dalam sujud terakhirnya.
Tak ada sepatah kata pun yang mampu menggambarkan kebahagiannya saat itu.
Di lain kesempatan Rian mengajaknya untuk pulang ke tanah Surabaya. Tempat
di mana Zahra dilahirkan. Tetapi, tanpa disadari bahwa Zahra harus menolak
kembali ajakan Ian untuk pulang karena suatu hal yang tidak dapat ia ceritakan
dengan siapapun.
“Maaf Ian, aku belum bisa pulang. Meskipun dalam benak ini sudah tak mampu
lagi untuk memendam kerinduan ku terhadap Ayah, Ibu, dan Adikku. Tapi demi
Tuhan, aku tidak dapat pulang.”
Mendengar jawaban itu Rian seperti tak percaya, hatinya begitu sakit.
Bagaimana mungkin dia menolak ajakannya untuk pulang bahkan janjinya untuk
bertemu dengan keluarganya di Suraaya. Dalam perasaan Ian timbul banyak
pertanyaan.
“Apakah dia sudah tak mencintai kelurganya sampai dia tidak mau aku ajak
pulang. Atau kah mungkiiin....., tidak itu tidak mungkin terjadi. Aku tak ingin
mengotori kepercayaan yang telah dia berikan kepadaku”
Setelah terdiam beberapa saat, Zahra mengatakan,
“Aku hanya bercanda, kau percaya jika aku tak mau pulang denganmu. Tentu
aku mau, tanpa aku harus berpikir panjang tentu saja aku pasti mau. Aku sangat
merindukan keluargaku di Surabaya. Ian, bawa aku pulang”.
Kemudian mereka berdua tersenyum sambil memandang satu sama lain. Sebuah
kerinduan dan janji untuk pulang dan kembali untuk orang tersayang.
Oleh: Fidhotur Rofiah
Semarang, 11 Februari 2016 pukul 23:03 WIB.
Komentar
Posting Komentar