AUTOBIOGRAFI


  It’s Me  

Fidhotur Rofiah, itu adalah nama lengkap ku. Nama yang diberikan oleh Ayah ketika aku lahir ke dunia ini. Dari kecil aku dipanggil Pipit, jangan tanya kenapa bisa dipanggil Pipit. Terima jadi saja, atau mungkin lebih simpel saja. Aku lahir pada hari Kamis tepatnya tanggal 04 bulan April 1997 Masehi atau menurut penanggalan arab tanggal 25 Dzulkaidah tahun 1919 Hijriah. Usiaku sekarang 21 tahun, di usia yang tidak masa remaja lagi aku banyak mengalami perubahan terutama dari pola pikir terhadap sesuatu. Semua itu berubah seiring dengan berjalannya waktu. 

Aku memiliki saudara perempuan yang rentang usianya lebih tua dariku 3 tahun. Iya, dia adalah kakak perempuanku satu-satunya dan kami hanya dua bersaudara. Kalau orang Jawa bilang kembang sepasang. Awal pendidikan ku dimulai dari TK PGRI yang sekarang berubah nama menjadi TK Mekarsari, di bangku Taman Kanak-kanak aku sangat bahagia karena di sana aku menemukan banyak teman. Bahkan aku masih mengingat nama guru yang mengajar ku. Waktu TK, dibagi menjadi dua kelas yaitu untuk TK kecil. Sedangkan untuk TK besar hanya ada satu kelas saja. Guru yang mengajarku bernama Ibu Mus, nama lengkapnya Musdzalifah dan Ibu Haida. Sedangkan yang mengajar di TK besar bernama Ibu Yanti. Meskipun sudah sangat lama aku masih mengingatnya.


Di bangku TK aku hanya satu tahun yaitu di TK kecil. Setelah itu aku langsung masuk ke jenjang Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau setara dengan SD. Enam tahun di bangku SD rasanya sangat cepat, karena aku kembali dipertemukan dengan teman-teman baru meskipun ada beberapa teman yang dulu satu sekolah di Taman Kanak-kanak. Waktu pertama kali sekolah atau masuk kelas satu, aku masih diantarkan oleh Ibu ku. Tetapi setelah itu aku berani berangkat sendiri dan pulang menggunakan mobil antarjemput.

Ketika di bangku Madrasah Ibtidaiyah atau SD tepatnya ketika kelas 4 setiap hari Senin aku sering izin tidak masuk sekolah. Karena sebenarnya aku takut dengan pelajaran Matematika. Guru SD ku kelas 4 bernama Pak Huda, beliau sangat galak. Tetapi sebenarnya Pak Huda merupakan sosok guru yang lucu, ketika sedang mengajar di kelas beliau tidak akan pernah sungkan untuk melempar penghapus ke arah siswa yang sedang ramai sendiri, karena aku pernah mengalaminya. Waktu itu aku bersama temanku bernama Maya duduk di bangku paling belakang. Ketika Pak Huda menjelaskan materi aku dan temanku justru sibuk sendiri bermain. Dan ketika Pak Huda melihatnya langsung dilempari penghapus, sontak satu kelas terdiam dan semua teman-teman satu kelas memandang ke arah bangku ku. Kejadian itu tidak akan pernah terlupakan bagiku. 

Meskipun guru di kelas 4 ku dulu terkenal sangat galak, aku tetap berhasil masuk lima besar, yaitu mendapat peringkat 4. Meskipun tidak masuk pararel atau masuk 3 besar aku tetap bangga, karena tidak mudah mendapatkan peringkat tersebut mengingat satu kelas waktu itu berjumlah 48 siswa. Dapat dibayangkan berapa beratnya untuk bersaing dan rata-rata temanku ketika SD dari kalangan anak perumahan. Dapat dihitung yang berasal dari desa berapa anak mungkin 15 sampai 20 anak saja. Waktu beraalan begitu cepat, setelah naik kelas 5 dan naik ke kelas 6 jadwal sekolah ku mulai padat. Diisi dengan tambahan pelajaran dan setelah pulang sekolah dilanjut dengan les. 

Bangku kelas enam merupakan salah satu kenangan yang tidak pernah terlupakan. Di kelas enam aku pernah mengikuti salah satu perlombaan yang diadakan oleh pertamina. Aku masih ingat lomba tersebut diadakan di kantor kecamatan, setiap kelas mewakilkan 5 orang yang berani untuk maju. Tidak perduli bagus atau buruk gambar tersebut yang jelas guru ku waktu itu mengikutkanku untuk lomba menggambar. Dan ternyata keberuntungan memang belum berpihak kepadaku. Aku tidak menang tetapi aku tidak berkecil hati, sudah menjadi perwakilan sekolah rasanya sudah bangga. Diperlombaan tersebut baik anak yang menang maupun kalah mendapat hadiah tas, buku gambar, dan crayon warna.

Detik-detik ujian hampir tiba, pemadatan mulai dilakukan. Aku masih teringat waktu kelas 6 SD aku berangkat menggunakan sepeda. Jarak antara rumah dan sekolahku memang cukup jauuh. Jika ditempuh dengan jalan kaki membutuhkan waktu 30-40 menit untuk sampai di sekolah. Tidak hanya itu, misalkan naik bus harus berjalan kaki terlebih dahulu sampai daerah Bukit Kencana, setelah itu baru naik bus menuju sekolah. Terkadang untuk mengejar bus aku harus berlari karena tidak semua bus mau menunggu penumpang. Apalagi kalau hanya satu atau dua orang saja. Setelah ujian selesai aku dan teman-teman kelas 6 disibukkan dengan gladi bersih perpisahan. Rasanya sangat sedih karena 6 tahun di SD/MI akan segera berlalu. Artinya aku dan teman-teman semua harus siap berpisah.

Perpisahan kami dilakukan dengan membuat sebuah acara dengan menyanyikan lagu Sayonara sebagai tanda perpisahan. Orang tua atau wali murid semua datang menyaksikan putra-putri mereka bernyanyi dan menerima surat pengunguman kelulusan. Hasilnya semua siswa kelas 6 lulus dengan nilai yang memuaskan. Rasa sedih, haru, bahagia, bangga bercampur menjadi satu. 

Setelah lulus dari bangku sekolah Madrasah Ibtidaiyah aku melanjutkan di pesantren, tetapi itu tidak bertahan lama. Ternyata aku hanya kuat 1 Minggu di sana. Mungkin karena belum terbiasa hidup mandiri jauh dari orang tua. Hidup di pesantren yang identik dengan ilmu agama sangat berat bagi anak baru. Membutuhkan sikap yang tegas dan tidak cengeng. Sebenarnya setelah lulus dan melanjutkan di pesantren itu juga penting tujuannya agar mendapat pendidikan agama dan pendidikan formal yang seimbang. Tetapi semua itu tidak dapat dipaksa. Aku harus keluar dari pesantren karena benar-benar sulit untuk berintraksi dengan keadaan di sana. Banyak dari luar kota yang melanjutkan di pesantren tersebut bahkan ada yang dari luar pulau Jawa seperti Kalimantan, Sumatra, dan Sulawesi.

Bangun pagi sudah menjadi kebiasaan di pesantren, semua kegiatan di sana harus dilakukan secara tertib. Setelah sekitar satu Minggu aku bertahan di sana akhirnya aku meminta orang tuaku untuk memidahkanku ke sekolah lain, meskipun mereka kecewa dengan ku tapi mereka dapat memahami bahwa segala sesuatu tidak dapat dipaksakan. Kepindahanku dari pesantren membawa perubahan bagi diriku terutama sikap mandiri. Aku dipindah ke sekolah yang masih kental dengan agama yaitu di sekolah Madrasah Tsanawiyah (MTs) setara dengan SMP. Awalnya masuk MTs memang bukan pilihanku juga aku memiliki keinginan untuk sekolah di negeri tetapi kembali lagi orang tuaku tidak menyetujuinya. Mereka ingin anak-anaknya memiliki pendidikan umum dan pendidikan agama yang memadahi.

Di Madrasah Tsanawiyah pelajaran yang diajarkan pun sama dengan sekolah negeri tidak ada yang berbeda. Sekolah MTs ku juga memiliki beberapa ekstrakurikuler yang dapat diikuti oleh beberapa siswa seperti pramuka, marchingband, panjat tebing, dan olahraga volly. Dari beberapa ekstrakurikuler yang terdapat di sekolah aku mekuangkan waktu mengikuti marchingband, ekstrakurikuler tersebut dilakukan setiap satu Minggu sekali setiap hari Kamis dimulai pukul 15.00 sampai 17.00 WIB. Terkadang marchingband di sekolah ku disewa oleh beberapa kalangan untuk menghibur diacara hajatan atau yang lain.
Tidak lama aku mengikuti ekstrakurikukler tersebut karena ketika sudah naik di kelas X semua kegiatan harus dihentikan. Semua siswa difokuskan untuk melakukan persiapan ujian nasional. Di bangku MTs banyak pengalaman yang tak terlupakan, karena masa SMP adalah masa remaja. Setelah lulus dan menerima surat tanda kelulusan dengan nilai yang bagus kemudian aku merencanakan untuk masuk di SMA Negeri di Semarang.

Bangku SMA adalah salah satu bangku sekolah yang sangat berkesan untukku. Di sana aku merasakan cinta pertama meskipun harus bertepuk sebelah tangan. Warna-warni perjalanan menemani masa-masa SMA. Kekecewaan harus kembali aku alami karena gagal masuk di salah satu Sekolah Menengah Atas Negeri di Semarang. Hal tersebut tidak membuatku pesimis. Untuk menjadi orang yang sukses tidak harus dari alumni sekolah yang bagus atau favorit. Semua bergantung dari mereka yang menjalankannya. Baik sekolah negeri ataupun swasta, kaya atau miskin, dari kota ataupun desa, semua sama. Jika memang bersungguh-sungguh pasti akan menjadi orang sukses. 

Di bangku SMA pula aku mendaptkan sosok seorang sahabat yang sangat baik. Dulu dia menjadi teman TK ku, kemudian teman SD ku, dan kami berpisah ketika di bangku SMP. tetapi seolah takdir memperemukan kembali kita berdua di bangku SMA. Dia seorang wanita bernama Sinta, dia seorang perempuan yang cantik usianya lebih tua dariku satu tahun. Tapi kita bisa menjadi sahabat yang baik. Dia tidak berasal dari keluarga yang kaya, dapat dikatakan bahwa dia berasal dari keluarga yang sederhana. Tetapi dia sangat pintar aku tidak pernah malu untuk meminta diajari ketika aku tidak paham dengan materi yang diajarkan oleh guru.

Lulus dari Sekolah Menengah Atas aku belum berniat untuk melanjutkan di perguruan tinggi. waktu itu aku sedikit kecewa karena belum diterima di PTN lewat jalur SNAMPTN. Kemudian aku memutuskan untuk bekerja di salah satu rumah makan yang terletak di Semarang sekitar satu bulan. Ternyata tanpa sengaja aku mencoba mendaftar di Universitas PGRI Semarang tanpa sepengetahuan orang tuaku. Waktu itu tidak ada persiapan sama sekali. Dapat dikatakan hanya bermodalkan tekad dan bahkan aku tidak berharap untuk diterima. Tetapi ternyata Tuhan berkehendak lain.

Setelah malam hariu aku mendaftar secara online, kemudian paginya aku melakukan tes di UPGRIS tanpa belajar sama sekali. Sekitar pukul 19.00 WIB aku membuka wesite UPGRIS dan ternyata aku diterima menjadi mahasiswa di sana. Jurusan yang aku pilih waktu itu adalah Bahasa Indonesia dan Pendidikan Anak Usia Dini. Dan aku diterima di pendidikan Bahasa Indonesia. Antara sedih dan bahagia sebenarnya, karena tanpa ada persiapan sama sekali. Setelah itu aku menjalankan tugas ku sebagi mahasiswa baru di UPGRIS dengan senang hati. Aku menikmati setiap proses yang terjadi, aku percaya segala sesuatu sudah ada yang merencanakan.

Aku selalu bersyukur bahwa sebenarnya banyak teman-teman seusiaku waktu itu yang ingin melanjutkan pendidikan di universitas tetapi banyak yang belum bisa karena berbagai faktor. Aku selalu mengingat setiap langkah perjalanan ku bahkann setiap semester yang aku lalui. Setiap semester aku membuat resolusi yang harus dicapai agar dalam hidupku mengalami perkembangan. Hingga saat ini aku menjadi mahasiswa semester 7 banyak cerita dan kenangan. Hingga pada akhirnya aku tidak dapat menceritakannya satu persatu. Itulah sejengkal kisah perjalanan hidupku.  



Komentar

Postingan Populer