MERPATI TAK PERNAH INGKAR JANJI
Oleh:
Fidhotur Rofiah/15410162/7D/PBSI
Langit senja Surabaya
tak pernah seindah senja di Semarang. Tanah kelahiranku yang selalu terkenang.
Sejauh kakiku melangkah, selama aku berjalan rasa itu tak kan pernah sirna.
Sore, waktunya untuk menyaksikan langit senja juga burung-burung kembali ke
sarang.
Semangkuk bubur yang
terletak di atas meja menunggu datangnya seruan untuk Zahra makan. Suara adzan
sudan berkumandang tibalah untuk Zahra membatalkan kewajiban. Baru satu sendok bubur
yang dia makan, tiba-tiba wajah Ibu dan Ayahnya melintas dalam pikiran. Tanpa
disadari air mata tumpah dengan sendirinya. Bubur yang tadi terlihat lezat dan
manis seolah berubah rasa dengan sendirinya. Entah apa yang ada dalam pikiran
Zahra pada waktu itu.
Teringat ketika Zahra
makan bersama keluarga di kampung halaman. Meskipun hanya nasi putih, ikan
asin, dan tempe goreng yang selalu setia menemani setiap pagi.
“Zahra, sudah bangun, kau ingin
berangkat sekolah atau tidak!”
Clotehan Ibu yang setiap pagi untuk
membangunkan ku. Ayah yang rutinitasnya setiap selesai sarapan pagi langsung
mengambil cangkul dan pergi ke sawah sedangkan aku dan adik perempuanku pergi
ke sekolah.
Ya, itulah kegiatan
yang terjadi pada keluarga Zahra. Zahra memiliki cita-cita untuk melanjutkan
sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Banyak teman-teman Zahra yang
sudah mendaftarkan diri mereka untuk masuk ke perguruan tinggi negeri. Tetapi
Zahra bimbang bagaimana cara meminta izin kepada ayah dan ibu. Zahra menyadari
bahwa orangtuanya adalah seorang petani yang penghasilannya pas-pasan.
“Untuk makan saja susah, apalagi
untuk biaya kuliah.”
Zahra sangat sedih ketika mengingat hal itu.
Tetapi sebenarnya dalam hati kecilnya mengatakan bahwa tidak ada yang tidak
mungkin di dunia ini.
Suara ketukkan pintu
tiba-tiba membuyarkan lamunan Zahra. “Ra, Zahra. Sudah berangkat kerja atau
belum?”
Suara Ibu Aminah pemilik kontrakkan
yang siap menagih uang bulanan. Kebetulan waktu itu Zahra mendapat shift malam di tempat dia bekerja. Zahra
sangat bingung apa yang harus dia katakan kepada Ibu kontrakkan karena dia
sudah nunggak uang bulanan. Zahra hanya memiliki uang sisa yang cukup untuk
makan tiga hari kedepan. Sebenarnya, Zahra tidak lupa untuk membayar uang
kontrakkan tetapi gaji yang dia dapat sudah dikirim ke kampung halaman untuk
biaya kuliah adiknya.
Setelah sekian lama Ibu
Aminah berdiri di depan karena Zahra tidak membukakan pintu untuknya. Pada
akhirnya Ibu Aminah pergi sambil meninggalkan surat. Surat itu tergeletak lesu
di atas meja depan teras. Ya, itu bukan surat pertama yang diberikan untukku
tapi sudah surat yang kesekian kalinya dari Bu Aminah. Aku masih malas untuk
membukanya. Hari semakin larut malam, sepulang dari bekerja Zahra masih melihat
surat itu tergeletak di atas meja luar, Zahra masih takut untuk membukanya.
“Bukan lagi keterlambatanku untuk
membayar uang kontrakkan yang ku takutkan. Sesungguhnya adalah rasa rindu yang
datang memintaku untuk pulang. Aku rindu wajah Ayah, adik perempuanku, terlebih
pada kebeningan wajah Ibu. Setiap kali aku memanggil, rindu pulang kian
mengental”.
Zahra terus memandangi
surat itu, hatinya bergejolak antara harus membaca atau tidak. Dipikiran Zahra
hanya ada kata baca, baca, dan baca. Akhirnya dia memutuskan untuk membuka dan
membaca surat itu. Zahra sudah siap dengan omelan dari Ibu kontrakkan karena
dia terlambat membayar. Tiba-tiba mata Zahra terbelalak melihat isi dari surat
itu.
“Haa, surat dari kampung halaman.”
Rasanya Zahra sudah tak sanggup lagi untuk
membaca. Sekedar membaca, tangannya seperti mati rasa untuk memegang surat itu.
Ya, enam tahun lamanya Zahra tak pernah pulang dari rantauan.
Zahra terus memandang
tulisan pada surat itu. Darahnya berdesir, dia tidak akan pernah bisa
mengingkari tanah kelahirannya. Karena di sana lah tangis pertama Zahra
terdengar, tanah, air, udara, angin, langit desa yang menjadi saksi kelahiran
Zahra. Zahra tak kan pernah bisa mengingkarinya, tak akan pernah bisa. Perasaan
rindu dan kecintaan tumbuh merayap dalam benak. Tanah kelahiran yang terletak
di ribuan mil dari Surabaya seperti terang benderang dalam pandang.
“Aku akan pulang.”
Zahra berjanji pada dirinya setelah membaca
surat itu. Lagi-lagi hati Zahra berkecamuk ketika dia mengingat bahwa
keluarganya hanya mengandalkan kerja keras dari Zahra. Ayah Zahra terkena stroke ketika Zahra lulus dari sekolah.
Itulah yang menjadi alasan Zahra mengapa dia tidak memilih untuk melanjutkan
pendidikannya dan lebih memilih untuk bekerja di kota asing.
Pikirannya untuk pulang
selalu terhambat oleh kebutuhan yang dibebankan olehnya. Dia rela bekerja keras
untuk keluarganya siang dan malam hanya untuk orang tersayang di kampung
halaman. Setiap kali dia memiliki tabungan lebih untuk pulang justru dia harus
berhadapan dengan angka-angka yang harus dia bayar untuk biaya adiknya kuliah.
Zahra tidak sanggup melihat ibunya bekerja keras sendirian yang hanya menjadi
buruh.
Tiba-tiba tubuh Zahra
terasa nyeri. Matanya berkunang-kunang ketika membaca surat itu. Surat itu
memang begitu pendek tetapi isinya sangat menyayat hati. Sebuah rindu yang tak
pernah sampai. Sebenarnya dalam benaknya pula ia merindukan seseorang di
kampung halamannya. Seseorang yang selalu membuatnya tersenyum di kala hatinya
sedang risau. Seorang teman laki-laki yang sudah ia anggap seperti sahabatnya
sendiri. Zahra mengenalnya sejak duduk di bangku SMA laki-laki tersebut bernama
Rian biasa dipanggil Ian.
Suatu ketika ia
teringat ketika harus pergi meninggalkan orang-orang tersayang demi mendapatkan
kehidupan yang layak. Rian tidak mengizinkan Zahra pergi karena masih terlalu
kecil waktu itu. Meninggalkan kota kelahiran dan berjuang di kota yang terkenal
akan kerasnya kehidupan di sana tak akan pernah mampu Zahra seorang diri hidup
di sana. Tetapi dengan penuh keyakinan Zahra harus memilih pergi meskipun ia
harus merelakan orang-orang yang dia sayangi.
Sebelum kepergiannya Zahra ia
sempat mengatakan bahwa,
“Aku akan pulang, bersama dengan
semua kerinduan yang aku bawa. Asal kau tahu, bahwa merpati tak pernah ingkar
janji. Aku mencintaimu lebih dari kau mencintaiku”.
Semua itu terasa sangat
perih di hatinya, tetapi harus bagaimana lagi. Takdir tak pernah berpihak
kepadanya. Zahra percaya jika memang dia mencintainya dia pasti akan menunggu.
Karena sebuah kepercayaan itu tak akan pernah ternilai dengan apapun. Zahra
sangat mencintai keluarganya melebihi apapun di dunia ini. Rian pun mengetahui
hal itu dan selama ini komunikasi mereka terbilang baik.
Suatu ketika, Zahra
berjalan di persimpangan jalan. Tanpa sengaja ia bertabrakan dengan seseorang.
“Maaf aku tidak sengaja”, kata
laki-laki tersebut.
Dan ketika ia menengok kebelakang
ternyata laki-laki tersebut adalah Rian. Laki-laki yang juga sahabatnya sendiri
sekaligus laki-laki yang ia cintai. Seketika itu Zahra memeluknya dan
mengatakan,
“Ian aku merindukan mu, sangat
merindukanmu”.
Pertemuan tanpa sengaja
tersebut membuat Zahra tak mampu bicara sama sekali. Bagaimana mungkin dia akan
bertemu dengan Ian di tempat yang tak terduga. Seolah takdir mempertemukan
mereka kembali untuk bersama dan melanjutkan kisah mereka. Hari demi hari telah
terlewati, Rian menceritakan semua keadaan keluarga Zahra di Surabanya. Ia
menceritakan bahwa Adik perempuannya yang dia biayai dengan kerja kerasnya
sudah hampir lulus dari kuliahnya. Kondisi ayahnya yang memiliki sakit stroke semakin membaik.
Zahra sangat tidak
sabar untuk segera pulang dan bertemu dengan keluarganya. Bertahun-tahun dia
memendam rasa rindu, bertahun-tahun pula dia tidak memiliki tempat untuk
berbagi perasaan yang ia rasakan. Tetapi seolah Tuhan menjwab doa-doa yang ia
panjatkan setiap malam dalam sujud terakhirnya. Tak ada sepatah kata pun yang
mampu menggambarkan kebahagiannya saat itu.
Di lain kesempatan Rian
mengajaknya untuk pulang ke tanah Surabaya. Tempat di mana Zahra dilahirkan.
Tetapi, tanpa disadari bahwa Zahra harus menolak kembali ajakan Ian untuk
pulang karena suatu hal yang tidak dapat ia ceritakan dengan siapapun.
“Maaf Ian, aku belum bisa pulang.
Meskipun dalam benak ini sudah tak mampu lagi untuk memendam kerinduan ku
terhadap Ayah, Ibu, dan Adikku. Tapi demi Tuhan, aku tidak dapat pulang.”
Mendengar jawaban itu
Rian seperti tak percaya, hatinya begitu sakit. Bagaimana mungkin dia menolak
ajakannya untuk pulang bahkan janjinya untuk bertemu dengan keluarganya di
Suraaya. Dalam perasaan Ian timbul banyak pertanyaan.
“Apakah dia sudah tak mencintai
kelurganya sampai dia tidak mau aku ajak pulang. Atau kah mungkiiin....., tidak
itu tidak mungkin terjadi. Aku tak ingin mengotori kepercayaan yang telah dia
berikan kepadaku”
Setelah terdiam beberapa saat,
Zahra mengatakan,
“Aku hanya bercanda, kau percaya
jika aku tak mau pulang denganmu. Tentu aku mau, tanpa aku harus berpikir
panjang tentu saja aku pasti mau. Aku sangat merindukan keluargaku di Surabaya.
Ian, bawa aku pulang”.
Kemudian mereka berdua tersenyum
sambil memandang satu sama lain. Sebuah kerinduan dan janji untuk pulang dan
kembali untuk orang tersayang.
_Merpati Tak Pernah Ingkar Janji_
Semarang,
11 Februari 2016 pukul 23:03 WIB.
Komentar
Posting Komentar